Selasa, 23 Desember 2008

PEMAKAI SABU LEBIH BODOH DARI BINATANG


KALAU dilihat dari fisiknya mungkin banyak yang menyangka bahwa dia sudah berusia di atas 60 tahun. Gigi depannya sudah tanggal alias ompong. Rambutnya sudah menipis dan sebagian besar berwana putih. Hanya kulitnya saja yang belum keriput layaknya kakek-kakek. Namun setelah ngobrol lebih jauh, gayanya santai, bicaranya ceplas-ceplos, sesekali humor-humor segar pun meluncur dari bibirnya.

Haji Kaharudin, ternyata umurnya baru menginjak kepala lima. "Kenapa banyak yang nyangka saya udah kakek-kakek? Padahal saya baru berumur 54 tahun." gumam Kaharudin. Ia pun lantas bercerita keadaan fisik tubuhnya yang seperti itu adalah akibat menggunakan berbagai macam narkoba. Dalam kurun waktu 7 tahun (1995-2002) kelahiran Pontianak ini kecanduan narkoba, terutama jenis shabu. Menurutnya efek shabu terhadap tubuh sangat merugikan, mulai dari rambut rontok, gigi ompong, fisik jadi cepat lemah, otak jadi lemot (lambat berpikir, Red.), dan yang paling fatal adalah menurunnya gairah seks.

Di daerah kediamannya, Ternate, tidak ada yang tidak mengenal Kahar - dari tukang ojek sampai pemilik perusahaan, dari staf pegawai pemerintahan sampai gubernur. Masyarakat Ternate akrab memanggil beliau dengan nama Haji Ompong sesuai dengan ciri-ciri fisiknya. Walau begitu, ketenarannya itu tidak menghalangi pria yang mahir berbagai jenis bahasa daerah ini untuk berbagi kisah tentang masa kelamnya dulu. "Saya terbuka untuk menyampaikan apa yang saya alami untuk generasi muda, supaya mereka tuh tahu bahwa memakai narkoba itu salah. Memang ada gunanya tapi sangat sedikit." tandas Kahar. Sore itu dengan mengenakan kemeja dan celana jins santai, Kahar menuturkan kisah hidupnya yang sangat panjang dan menarik di sebuah hotel di kawasan pusat Jakarta, saat ia berkunjung ke ibukota.


Menggelontorkan Granat

Untuk urusan nakal, kata Kahar, telah dimilikinya sejak kecil saat duduk di Sekolah Rakyat (SR). Waktu itu ia sering berkelahi. Bak seorang pahlawan, dirinya sering membela teman-temannya. "Teman saya yang berkelahi, saya yang maju. Main golok dan segala macam juga saya layani," ucap Kahar bersemangat.

Ketika masuk SMA, kenakalannya pun makin menjadi, dari iseng-isengan, berkelahi, mencuri, dan mabuk-mabukan. Pernah suatu waktu Kahar memiliki sebuah granat. Karena sifat isengnya yang kelewat besar, ketika teman-temannya sedang main basket dengan sengaja ia menggelontorkan granat ke lapangan tersebut. Sontak teman-temannya langsung berhamburan.

Ketika SMA, jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh. Karena itu, Kahar sering menginap di rumah teman-temannya. "Rumah di Cimahi, sekolah di Bandung, kira-kira dua belas kilometer jaraknya. Dulu belum ada mobil-mobil. Jadi saya harus jalan dan naik truk pasir yang lewat. Kalau kemalaman, yah mending
nginep di rumah teman. Saya juga sering nginep di rumah teman saya yang wanita, dulu saya sering tidur di rumah mamahnya Rina Gunawan." kenang Kahar.

Pada masa SMA ini pula ia mulai mengenal jenis-jenis narkoba. Namun, ganja yang diakui paling dikenalnya. Di tempat bergaulnya, yakni tempat berkumpul banyak remaja nekat dan nakal, ia jadi sering ngeganja. "Mengganja dulu bukan untuk nyandu, tapi untuk senang-senang saja. Kalau saya bawa ganja bukan selinting dua linting tapi satu tas tentara. Saya tanam di Batujajar dan Cimahi dulu. Cuman saya sendiri jarang ngerokok karena saya dulu pelari." tuturnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.



Ranking Se-Asia

"Saya inikan gila di sini (Jakarta, Red.). Siapa yang gak tau saya, penyanyi seperti Dedi Dores aja anak buah saya kok. Saya memang pemakai berat, mungkin di Jakarta ini gak ada yang nandingin, bahkan kalau ada ranking mungkin saya termasuk ranking untuk pemakai narkoba se-Asia," ujar anak kedua dari empat bersaudara ini menggebu. Kenangan Kahar kembali ke tahun 1995, saat usai menunaikan ibadah haji sekaligus harus berpisah dengan istrinya. Kehidupan bebas ala pelaut rupanya tidak bisa diterima oleh sang istri sehingga ketika Kahar sedang berpesta di sebuah diskotik dengan ditemani seorang wanita, istrinya datang mendamprat Kahar dan perempuan tersebut dengan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Merasa sakit hati, Kahar mendatangi sang istri dan berkata, "Mulai hari ini kamu bukan istri saya lagi!" Ia juga mengatakan akan mengawini perempuan diskotik yang didamprat tersebut hanya untuk membuat sang istri sakit hati.

Setelah bercerai, Kahar keluar dari tempat tinggalnya di kawasan Kemang Pratama dan menyewa sebuah kamar berukuran kecil di daerah Kemayoran. "Banyak teman-teman saya yang nanya kok mau nyiksa diri dari istana pindah ke gubuk. Saya keluar rumah memang hanya membawa badan. Rumah saya di kawasan Kemang Pratama yang saya beli seharga 1M, saya tinggalin!" tegas pria yang memiliki hobi memancing di empang ini. Lingkungan tempat tinggal barunya ternyata tidak seramah dan senyaman tempat tinggalnya dulu. "Di Kemayoran itu dulu sarangnya narkoba. Tempat bandar paling besar di Jakarta. Barang apa aja ada di situ. Kegilaan saya mulai pada saat itu karena dikelilingi oleh perempuan-perempuan nakal dan kehidupan malam di situlah saya mengenal shabu," papar Kahar sembari menambahkan bahwa di situ ia hanya bertahan sampai empat bulan dan kemudian pindah menyewa sebuah rumah berukuran besar yang masih terletak di kawasan Kemayoran.

Di dalam rumah tersebut Kahar membeli alat-alat band dan membuat studio rekaman. "Dedy Dores saya rekrut. Saya bikin band namanya Baruna Grup. Bikin sinetron juga. Punya rekaman juga." tutur Kahar.

16 Juta Seminggu

Menurut Kahar, kecanduannya akan shabu bukan atas bujukan orang lain tapi karena kemauannya sendiri. Namun tidak ia pungkiri memang pergaulan mempengaruhi mengapa ia memakai shabu. Setelah mencoba shabu Kahar merasakan sensasi senang, takut, gembira yang luar biasa - tergantung dari perasaan kita sebelum memakai barang haram tersebut. "Kalau kita lagi senang trus
make shabu, fly-nya lebih senang. Kalau takut jadinya malah parno dan sangat ketakutan. Kalau sudah begitu bisa nekat loncat dari ketinggian, lari sekencang mungkin. Binatang harimau yang larinya kencang, orang yang nyabu masih lebih kencang larinya dari harimau. Jadi shabu waktu itu cocok dengan kondisi saya. Hanya shabu yang bisa dipakai untuk ketenangan dan bisa dipake sendiri gak usah bareng-bareng. Karena saya kalau nyabu tidak pernah ngajak atau ngebujuk teman untuk ikut make." ujar ayah dari satu putra ini.

Pada kurun waktu 1995 sampai 1999, rezeki yang diterima Kahar sangat berlimpah. Semua yang ia lakukan bisa menghasilkan duit, bahkan sampai mengekspor barang ke luar negeri. Mobil limosin dan mobil build up lainnya memenuhi garasi rumah. Cincin dan batu-batu seharga ratusan juta terpasang di jarinya. Disokong dengan dana yang tak terbatas, membuat kecanduannya semakin menggila. Narkoba seperti inex, ekstasi ia beli dalam jumlah besar dan selalu tersedia seperti kacang goreng di rumahnya. Shabu yang sudah seperti makanan pokok untuk Kahar, tentu tidak ketinggalan. Dalam seminggu ia bisa menghabiskan Rp 16 juta untuk membeli shabu. "Dulu satu ons itu 16-an juta. Paling itu bisa bertahan sampai seminggu, malah gak
sampe mungkin." kata Kahar.

Dalam kurun waktu tersebut Kahar tetap melaksanakan tugasnya di kantor yakni di Barito sebagai kepala perkapalan. Lama-kelamaan produktifitasnya menurun, Kahar bahkan hanya mampu mengandalkan anak buahnya untuk bekerja. Pernah pada saat ia sedang rapat dengan bos-bos perusahaannya dari Korea ia tertidur sampai rapat berakhir. "Bangun-bangun badan saya sudah diselimuti dan ruangan sudah sepi." kenang Kahar.

Tidak Makan Berhari-hari

Efek jahat shabu pada tubuhnya sudah mulai parah. Badannya seakan tidak punya tenaga untuk beraktifitas, ia bisa menghabiskan sehari penuh untuk tidur sehingga kerjaannya pun terbengkalai. Badannya kurus karena tidak ingat makan, otaknya lemah. Bahkan karena saking seringnya tertidur ia sudah lupa akan waktu dan hari. Akibatnya Kahar jadi bulan-bulanan penipuan oleh teman dan anak buahnya. Barang-barang di rumahnya ia jual dengan harga murah tanpa sadar. Mobil limosinnya hanya dijual dengan harga 100 juta, itupun baru diketahui ketika satu hari ia ingin keluar rumah. Seperti biasa supirnya pasti bertanya ingin menggunakan mobil yang mana, spontan ia jawab mobil limosin. Namun supirnya berkata bahwa mobil itu sudah dijualnya tadi malam dengan harga 100 juta. Ketika bertaruh dalam pertandingan sepak bola pun Kahar selalu mengalami penipuan. Ia selalu bertaruh untuk pertandingan yang sebenarnya sudah selesai dan hasilnya sudah ada. Sekali bertaruh ia bisa kalah sampai 50 juta.

Saking seringnya mengalami penipuan, lama-kelamaan akhirnya Kahar bangkrut juga. Untuk memenuhi kebutuhannya akan shabu ia terpaksa menjual barang-barang berharga yang tersisa. Cincin dan batu seharga ratusan juta ia jual dengan harga jutaan saja. Mobil-mobil koleksinya satu persatu hijrah dari garasi. Namun sampai semua barangnya sudah habispun kecanduan Kahar akan shabu belum berhenti juga. Kahar bahkan sampai tidak makan berhari-hari karena tidak punya uang. Teman-temannya yang dulu baik, kabur dan menjauh. Hanya segelintir orang saja yang kadang masih ingat kepadanya dan mau memberi ia makan.

Puncaknya ketika bulan Mei 1999, Kahar keluar dari tempatnya bekerja. Lebih tragis lagi ia harus menerima kenyataan ditinggal pergi ibunda tercinta untuk selamanya. Harta terakhir yang ia miliki yaitu sejumlah uang dalam rupiah dan dolar raib diambil di bandara ketika Kahar ingin menghadiri pemakaman ibunya.


Bertemu Dewi Penolong

"Hidup saya sudah pasrah, mau makan atau tidak kek terserah," kenang Kahar pada saat kecanduannya akan narkoba masih merongrong walaupun harta ludes tak tersisa. Teman dan keluarga menjauh. Tak disangka ternyata salah satu keponakannya yang menjadi dokter mau berkunjung. Saat itu sang ponakan membawa serta temannya yang juga seorang dokter bernama dr. Rosidah HS. Kesan pertama bertemu dengan Rosidah sudah membuatnya ingin memukul wajah gadis yang sebenarnya berparas cantik tersebut, sebab shabu miliknya dirampas dan dibuang oleh Rosidah.

"Waktu saya lagi ngobrol sama keponakan saya, dia buang semua shabu saya. Saya marah sekali, rasanya saya mau tempeleng dia. Tapi dia dengan entengnya malah berkata saya yakin kok kamu bisa jadi suami saya. Asal kamu berhenti memakai shabu saya bersedia dikawini sama kamu. Saya bilang, kamu gila? Karena dengan kondisi saya yang sudah parah, badan kurus, mata keluar, rambut rontok. Siapa yang mau sama saya?" ucap Kahar akan kesannya ketika bertemu pertama kali dengan Rosidah.

Namun ternyata omongan itu tidak main-main. dr. Rosidah membuktikan bahwa ia memang menyayangi Kahar dan benar-benar ingin melihatnya sembuh dari kecanduan shabu. Akhirnya bulan Juli tahun 2000, Kahar menikah dengan dr. Rosidah yang ternyata masih adik sepupu dari seorang petinggi di Polda Metro Jaya. Perbedaan umur 15 tahun tidak menjadi penghalang. Meski saat melamar, orang tua gadis bertanya padanya "Om, mana calon mempelai prianya? Saya jawab, saya sendiri. Kaget bukan kepalang mertua saya." cerita Kahar. Banyak teman-teman Kahar yang tidak percaya kalau ia bisa menikah dengan gadis cantik, kaya, dan berprofesi dokter. "Teman saya pada bingung gimana bisa? Kamu aja bingung apalagi saya." ucap Kahar sambil tertawa lepas.


Dikurung 3 Bulan

Kahar mengakui kalau istrinya memang sosok yang paling berperan dalam proses pemulihannya. Tapi dengan sedikit berkelakar, ia menyatakan alasan utama adalah karena sebetulnya uangnya sudah habis. "Kalau uang saya masih ada mungkin saya masih make walaupun saya ketemu dia." ucapnya. Kahar sempat dikurung oleh sang istri selama tiga bulan dalam kamar yang terisolasi. Selama dalam masa kurungan itu yang ia kerjakan hanya tidur menunggu istrinya pulang. Efek shabu menjadikan emosi Kahar sangat labil, persoalan kecil saja bisa membuat ia dan istri bertengkar. Namun dengan sabar dr. Rosidah terus berusaha merawat Kahar.

Setelah sekian lama dijaga oleh sang istri, berangsur-angsur kondisi kesehatan Kahar mulai pulih. Tekadnya untuk sembuh sudah bulat. Ia tahu betapa sulitnya untuk berhenti dari kecanduan shabu dan ia tidak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kali. "Saya sadar bahwa untuk sembuh itu susahnya bukan main. Yang saya rasakan ketika penyembuhan itu udaranya panas sekali. Sampai-sampai kalau malam, saya tidurnya di bak kamar mandi berendam dengan air." ucap Kahar sambil menerawang.

Karena itu ia berpikir untuk pindah dari Jakarta ke Ternate dengan pemikiran di daerah pasti shabu susah didapat. Sang istri pun mendukung keinginan suaminya untuk pindah walau harus pindah dari rumah sakit tempat kerjanya di Jakarta. Di Ternate, kebaikan dan kedermawanannya sangat terkenal. Di tempat itu pula perlahan-lahan Kahar mulai membangun lagi kehidupannya bersama istri dan anaknya Sy. Ade Baruna Alqadrie yang masih kecil. Kehidupan ekonominya berangsur pulih walaupun tidak sejaya dahulu. Teman-temannya sudah mulai percaya kepada Kahar ketika mengetahui dirinya sudah pulih dari kecanduan shabu. Proyek-proyekpun mulai diberikan kepada Kahar. Menurut Kahar saat ini ia masih bekerja di bidang yang berhubungan dengan perkapalan, dan mulai merambah ke bidang pertambangan.

Saat ini ia sudah banyak menyadarkan orang di Ternate, terutama kaum muda. "Dengan cerita saya ini, saya ingin pembaca SADAR jangan pernah coba-coba pakai narkoba. Untuk yang masih make, sebenarnya harga diri mereka akan hilang karena jadi bodoh, lebih bodoh dari binatang. Sebodoh-bodohnya binatang lebih bodoh lagi orang yang make shabu. Kedua, mereka tidak menyadari akibatnya nanti. Syukur kalau dia mati, tapi kalau tidak? Bisa gila. Seperti saya ini sudah mengalami akibatnya." tandasnya mantap sebelum menutup pembicaraan. (DIM)


Kisah Nyata – SADAR Des 06 (Hal. 29-33)Capt. H. Kaharudin

di kutip dari banghary.blogspot.com

Senin, 15 Desember 2008

TAHAP TAHAP MENGATASI ADIKSI NARKOBA

MENGATASI adiksi narkoba tidaklah mudah. Berbagai cara dan langkah telah dilakukan sejak lama, tetapi hasilnya tidak selalu menggembirakan. Meski begitu, kita tidak pernah boleh bosan berusaha. Tersedia berbagai cara mengatasi.

G (32 th), sejak lama menjadi problem dalam keluarga. G dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berkecukupan. G merupakan anak laki-laki tertua dari tiga bersaudara. Menurut pengakuan G, ayahnya mendidiknya dengan pola militer. G juga sangat jarang menerima pujian dari ayahnya, ia malahan lebih sering mendapatkan hukuman fisik. Nah, itu sebabnya, barangkali, G mencoba berbagai obat penenang dan minuman yang mengandung alkohol, bahkan sejak masih duduk di bangku SMP.

Maka tidaklah mengherankan bahwa keluarga G lalu harus bolak- balik ke dokter jiwa untuk mendapatkan terapi fisik maupun psikis. Setelah ayahnya meninggal, perilaku adiksinya semakin berat, sehingga keluarga sepakat untuk memasukkan G ke sebuah panti rehabilitasi. Saat ini G sudah dapat bekerja secara wajar dan mempunyai pekerjaan yang baik.

I, 18, laki-laki, diantar ibunya ke sebuah panti rehabilitasi dalam keadaan fisik lemah, mungkin karena sudah beberapa panti rehabilitasi menolak untuk merawat I. Keadaan fisik I memang buruk. Kedua orang tua I berpisah ketika I berumur 14. Sejak itu I keluar dari rumah dan berhenti sekolah. I lalu bekerja di sebuah diskotek besar dengan penghasilan yang dapat menghidupinya di Jakarta.

Sayangnya, karena sejak usia 16 tahun I sudah terlibat narkoba (menggunakan alat suntik) dan melakukan hubungan seks sebelum nikah dengan pacar-pacarnya, I hanya sempat dirawat 5 hari. Pada hari ke 5, I meninggal dunia karena kegagalan fungsi dari hampir semua organ vital di tubuhnya. Diagnosis terakhir, I ternyata terkena AIDS.

Kedua contoh kasus nyata di atas, hanyalah sebagian kecil dari kasuskasus penyalahgunaan narkoba yang ada di Indonesia. Dalam menghadapi kasus-kasus adiksi narkoba sering kali kita kehabisan akal dan frustrasi. Terutama, bagi orang-orang yang berada di sekeliling pecandu.

Dalam tulisan yang lalu (Media/ 9/02) saya menulis tentang tahapan yang dilalui pecandu, jika seorang pecandu ingin pulih, yaitu:

Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), pada tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatan fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokter inilah yang memutuskan apakah pecandu perlu mendapat obat tertentu, misalnya untuk mengurangi gejala putus zat (sakau). Pemberian obat pada tahap ini tergantung dari jenis narkoba dan berat-ringannya gejala putus zat. Oleh karena itu dibutuhkan kepekaan, pengalaman, dan keahlian dokter yang merawat pecandu.

Tahap rehabilitasi nonmedis, pada tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi, dan di Indonesia sudah ada tempat-tempat rehabilitasi nonmedis dengan program therapeutic communities (TC), 12 steps, pendekatan keagamaan, dan lain sebagainya.

Tahap bina lanjut (after care), pada tahap ini pecandu diberi kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu juga dapat kembali ke sekolah atau ke tempat kerjanya sambil tetap berada di bawah pengawasan.

Dalam setiap tahap, idealnya secara terus-menerus dilakukan pengawasan dan evaluasi terhadap proses pulihnya seorang pecandu. Pada tahap rehabilitasi nonmedis pecandu dianjurkan untuk mengikuti program yang sesuai dengan hasil evaluasinya, apakah dengan metode TC, atau 12 steps (dua belas langkah) atau pendekatan keagamaan atau malahan sudah dimungkinkan untuk menjalani rawat jalan.

Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika dianjurkan proses rawat inap pecandu tidak lebih dari empat minggu. Dan menurut Mrc A Schuckit, MD program grup terapi merupakan program yang biayanya lebih murah daripada konseling pribadi. Menurut saya hal ini merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan pelaksana program terapi dan rehabilitasi. Hasil temuan yang dilakukan YCAB, di Jakarta memang anak usia SMU, lebih senang curhat secara berkelompok ketimbang curhat satu-satu.

    Dari pengalaman dan pengamatan saya, di Indonesia paling tidak ada beberapa metode terapi dan rehabilitasi yang digunakan:
  • Cold turkey
  • Metode alternatif
  • Terapi substitusi
  • Therapeutic community
  • Metode 12 steps

'Cold Turkey', istilah yang digunakan berarti seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif. Mungkin ini merupakan metode yang tertua. Metode ini mengurung pecandu yang sedang berada dalam masa putus obat (selama gejala tersebut ada), tanpa memberikan obat-obatan. Pecandu dikurung tak lebih dari dua minggu. Setelah gejala putus obat hilang, baru pecandu dikeluarkan dan diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan biasanya menggunakan metode ini dalam fase detoksifikasi.

Terapi substitusi, hanya dapat digunakan untuk pasien- pasien ketergantungan heroin (opioida), karena itu sebutan lengkapnya adalah terapi substitusi opioida. Untuk pengguna opioida hard core addict (pengguna opioida yang telah bertahun- tahun menggunakan opioida suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan akan heroin (narkotika ilegal) diganti (substitusi), dengan narkotika legal.

    Beberapa obat yang biasa digunakan ialah:
  • kodein
  • bufrenorphin
  • metadone
  • naltrekson

Obat-obatan ini dapat digunakan sebagai obat detoksifikasi maupun sebagai terapi rumatan. Obat-obat ini diberikan sebagai pengganti heroin, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pecandu, untuk kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.

Keempat obat tersebut sudah beredar di Indonesia. Sayangnya kajian lengkap mengenai dampak dan fungsi kontrol terhadap obatobatan ini masih harus ditingkatkan, karena saya menemukan adanya kasus-kasus penyimpangan/ penyalahgunaan dari obat-obat resmi tersebut. Sebagai salah satu contoh, Singapura saat ini melarang peredaran obat golongan bufrenorphin, karena berdasarkan kajian ditemukan kecenderungan penyalahgunaan yang berakibat fatal.

Di Indonesia sekarang ini, terapi metadone telah digunakan sebagai cara untuk mengalihkan penggunaan alat suntik, dengan prediksi bahwa penularan HIV akan dapat ditekan, khususnya di kalangan pecandu heroin pengguna alat suntik.

Di banyak negara, termasuk di sejumlah negara Asia, program terapi substitusi yang paling umum adalah TRM (terapi rumatan metadone). Program TRM dapat dibedakan menjadi program detoksifikasi dan program rumatan. Untuk program detoksifikasi dibedakan dalam jangka pendek dan jangka panjang yaitu jadwal 21 hari, 91 hari, dan 182 hari. Sedangkan program rumatan/pemeliharaan berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih lama lagi.

Sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 567/Menkes/SK/VIII/2006, 2 Agustus 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif /Napza, peserta program ini harus memenuhi kriteria berikut. (Lihat Tabel Kriteria Ketergantungan...)

Di Jakarta pada 2008 akan dilaksanakan terapi ini dengan basis puskesmas. Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta, akan bekerja sama dengan berbagai puskesmas yang melaksanakan terapi metadon, dan BNP akan menyiapkan tenaga-tenaga konselor yang telah dilatih untuk menangani perilaku adiksi narkoba.

Saya sangat berharap bahwa kajian-kajian yang akan dilakukan terhadap program ini bukan hanya kajian terhadap program saja. Juga diperlukan upaya untuk melihat efektivitas program terhadap berubahnya perilaku adiksi. Untuk menunjang upaya tersebut dibutuhkan waktu yang panjang (paling sedikit 3 tahun) untuk melihat perubahan perilaku pecandu.

'Therapeutic Community (TC)
Mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat, dengan tujuan utama, menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help program, yang mempunyai sembilan elemen.

Yaitu: partisipasi aktif; feedback dari keanggotaan; role modeling; format kolektif untuk perubahan pribadi; sharing norma dan nilainilai; struktur & sistem; komunikasi terbuka; hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik.

Aktivitas dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku; emosi/psikologis: intelektual & spiritual; vocasional dan pendidikan; keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba (Lihat Tabel 12 Langkah).

Program ini dikenal pertama kali pada 1935 dan berasal dari program Alcoholics Anonymous (AA), yang sekarang telah berkembang menjadi berbagai anonymous misalnya, narcotics anonymous (NA), gambler anonymous, sexual anonymous. Program ini berasal dari suatu acara kebangunan rohani, maka nuansa spiritual dalam program ini terasa sangat kental.

Di Amerika Serikat, jika seorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan narkoba, biasanya pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 Langkah.

Bisa dalam bentuk rawat inap atau harus mengikuti pertemuanpertemuan 12 Langkah (alcoholic anonymous/AA; narcotic anonymous/ NA). Biasanya pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk mengimplementasi ke 12 langkah ini dalam kehidupannya sehari-hari.

Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Saya berpendapat, semakin banyak metode, maka semakin baik bagi pecandu, karena pecandu dapat memilih metode yang sesuai dengan kebutuhannya.

Terapi dan rehabilitasi di Indonesia
Di Indonesia RSKO (rumah sakit ketergantungan obat), mulai menangani pecandu sejak 1972, yaitu menempati sebagian lahan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Fasilitas yang disediakan RSKO Fatmawati masih terbatas pada detoksifikasi dan prarehabilitasi.

Saat ini RSKO, telah memindahkan aktivitasnya ke Cibubur (Jakarta Timur), dengan fasilitas yang cukup lengkap. Selain melayani secara medis, juga mempunyai fasilitas rehabilitasi non medis (Halmahera House) dengan pendekatan TC.

Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi, (Wisma Pamardi Siwi) berlokasi di Jl MT Haryono No 11 Cawang, Jakarta Timur, yang diresmikan Ibu Negara pada waktu itu, 31 Oktober 1974. Pada masa itu Wisma Pamardi Siwi adalah pilot proyek nasional DKI Jakarta yang merupakan realisasi dari Badan Koordinator Pelaksana (Bakolak) Instruksi Presiden (Inpres) 6 Tahun 1971. Wisma itu berada di bawah koordinasi pihak kepolisian dan dalam beberapa tahun terakhir diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional.

Saat ini secara bertahap aktivitas panti rehabilitasi ini mulai dipindahkan ke daerah Lido, Jawa Barat, yang disebut sebagai Pusat Rehabilitasi Penanganan Korban Narkoba Lido (PRPKN Lido). PRPKN Lido adalah panti rehabilitasi narkoba terbesar se-Asia Tenggara.

    Di tempat ini digunakan empat pendekatan terapi yakni:
  • hospital base,
  • religy,
  • alternative,
  • therapeutic community.

Panti rehabilitasi milik pemerintah di Lido ini akan menjadi salah satu pusat rehabilitasi yang dapat memenuhi kebutuhan pecandu di Indonesia dan rencananya tempat tersebut selain menjadi pusat rujukan nasional, juga menjadi teaching hospital bagi masalah adiksi narkoba di Indonesia.

Menurut buku panduan tentang terapi dan rehabilitasi, yang diterbitkan Badan Narkotika Nasional, dokter yang dapat memberikan terapi medis adalah dokter yang telah melalui pelatihan tertentu, demikian juga konselor, pekerja sosial, perawat. Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta (bagian Terapi dan Rehabilitasi) mempunyai kebijakan, konselor yang ingin mendampingi pecandu, paling tidak telah melalui pelatihan selama 72 jam.

Selain tempat-tempat rehabilitasi milik pemerintah, peran masyarakat juga tidak kalah. Sejak tahun 1980-an mulai muncul tempat- tempat rehabilitasi milik swasta, dengan berbagai model pendekatan terapi dan rehabilitasi.

Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, setahu saya belum ada laporan tentang efektivitas dari program- program terapi dan rehabilitasi di Indonesia. Menurut hemat saya hal ini sangat penting sebagai bagian dari strategi penanganan pecandu secara nasional. Satu hal yang dapat digunakan sebagai tolok ukur ialah jangka waktu—misalnya tiga tahun—mantan pecandu hidup bersih dari narkoba (sober) dan perilakunya telah berubah.

Prinsip umum

    Dalam menghadapi kasus-kasus adiksi, paling tidak ada prinsip- prinsip umum yang saya gunakan:
  • Pecandu (apa pun jenis adiksinya) dan keluarganya, adalah tetap manusia. Manusia, merupakan makhluk termulia yang pernah diciptakan sang pencipta. Dan sejak diciptakan, kita dapat melihat bahwa manusia mempunyai aspek fisik, jiwa, roh, dan sosial. Dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai tubuh, jiwa dan roh, yang terintegrasi menjadi satu kesatuan utuh.

Maka, dalam melakukan penanganan terhadap setiap masalah, keempat aspek tadi harus diperhatikan. Dalam penanganan kasus adiksi pun demikian. Ada baiknya dalam penanganan adiksi bukan hanya menggunakan satu disiplin ilmu saja, tapi empat disiplin ilmu bekerja bersama untuk menangani kasus adiksi. Sehingga betapa pun ahli dan berpengalamannya seorang profesor, dokter, konselor, dan lainnya, dia tidak berhak mengklaim seorang pecandu sembuh karena bantuan mutlak saya.

Hal lain tentang manusia ialah fakta bahwa di kolong langit ini, tidak ada dua manusia yang identik sama. Dengan kata lain manusia itu: "Sama dalam perbedaan, atau berbeda dalam kesamaan." Inilah keunikan manusia. Itu sebabnya jika ada 50 pecandu, ke 50 orang ini mempunyai keunikan masing-masing, sehingga perlu diperhatikan dinamika dari setiap pecandu.

Saya berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak (kebebasan untuk memilih) dan ini merupakan suatu anugerah yang diberikan kepada manusia, oleh karena itu saya sangat menghargai keputusan-keputusan yang diambil pecandu ketika pecandu (dan keluarganya) memilih untuk mengikuti suatu program terapi dan rehabilitasi (apapun jenis dan metodenya), demikian pula ketika pecandu memilih tidak mau ikut dalam program terapi dan rehabilitasi.

'Don't attack the person. Attack the problem!'
Permasalahan dalam adiksi ada pada perilaku, bukan pada pribadi (pecandu), sehingga yang perlu diperbaiki adalah perilaku adiksi, bukan siapa pecandu (suku, ras atau agamanya). Sehingga, dalam menangani pecandu, harus pula diperhatikan dan dihormati hak-hak pecandu sebagai manusia.

Yang menjadi soal bukan masalahnya tetapi bagaimana cara menghadapi masalah tersebut. Dalam menghadapi kasus-kasus pecandu, sering kali saya menemukan pecandu menjadi tertuduh, tetapi tidak jarang pula ayah atau ibu pecandu yang menjadi terdakwa. Sehingga, terjadi salah persepsi antara pecandu dengan keluarganya, atau sebaliknya. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kesabaran kebijaksanaan dan hikmat, supaya persoalan tidak bergeser lalu menyerang dan menyakiti pribadi-pribadi yang terlibat dalam permasalahan adiksi.

Bagi saya perpecahan dalam keluarga bukan suatu yang aneh karena dalam sesi-sesi konseling, saya sering berhadapan dengan masalah ini. Maka saya sering menggunakan kalimat: "Dalam menghadapi adiksi, kita akan berhadapan dengan roh pemecah!" Dan untuk melawan hal tersebut harus dilawan dengan bersatunya semua pihak yang terlibat dalam perlawanan adiksi ini.

Ada risiko penyakit penyerta (HIV/AIDS, hepatitis, gangguan jiwa, dll)
Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu kemungkinan pecandu yang menggunakan alat suntik sudah terpapar HIV dan atau hepatitis (b atau c), sehingga secara fisik, bagi pecandu (yang menggunakan alat suntik) harus dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara lengkap. Hal lain yang juga harus diperhatikan ialah adanya diagnosa ganda. Istilah ini digunakan bagi pecandu yang mempunyai gangguan jiwa, sehingga masalah yang dihadapi semakin kompleks.

Peran keluarga
Dalam menghadapi pecandu harus tetap diingat bahwa keluarga pecandu biasanya mempunyai perilaku sama dengan pecandu, co-dependent. Idealnya keluarga pecandu harus dilibatkan secara aktif dalam proses pemulihan pecandu.

Betty Ford Foundation, yang memiliki suatu pusat rehabilitasi bagi pecandu, mempunyai program khusus bagi keluarga pecandu. Jelas bahwa pelayanan yang disediakan bukan hanya bagi pecandu.

Dalam beberapa kasus yang saya temui, keluarga pecandu sudah demikian putus asa, sehingga membiarkan pecandu berlama-lama di pusat rehabilitasi. Ada juga yang tidak mau lagi bertemu dengan si pecandu. Hal ini terjadi karena keluarga pecandu mempunyai bentuk kasih sayang yang sering disalahartikan oleh pecandu. Atau, sering kali cara keluarga mengasihi pecandu tidak tepat.

Cinta kasih memang sangat dibutuhkan seorang pecandu, tetapi pada kenyataannya manusia sering salah mengartikan makna cinta yang sesungguhnya. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata hesed yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi love-kindness (Cinta dan kemurahan hati). Dalam salah satu bagian kitab suci dituliskan bahwa, 'Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran; menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.'

Menurut saya cinta-kasih itu bukan sekadar perasaan belaka. Cinta itu merupakan tindakan aktif yang memberikan kebebasan memilih kepada orang yang dicintai, termasuk juga untuk tidak membalas cinta. Cinta yang demikianlah yang dapat menyatukan kembali keluarga yang pecah akibat masalah adiksi. Dengan kata lain semua yang terlibat dalam masalah adiksi, pecandu, keluarganya, dokter, konselor, rohaniwan perlu mempunyai konsep cinta-kasih yang benar, untuk membantu proses pemulihan. Perlu juga dipahami, keluarga yang terpecah akibat masalah adiksi sangat membutuhkan terapi keluarga, dan model terapi keluarga yang cukup efektif adalah metode Satir, yang ditemukan Virginia Satir. Dalam pendekatan metode ini ditekankan bahwa setiap anggota keluarga merupakan unit yang saling berhubungan satu dengan lainnya, jadi jika ada satu unit yang mengalami masalah, akan berdampak kepada unit-unit yang lainnya.

Berdasarkan hal ini maka keluarga pecandu akan mempunyai peran penting dalam proses pemulihan pecandu. Hipotesanya, jika keluarga tidak mengalami pemulihan, maka pecandu juga sulit untuk bertahan bersih.***

BILA KEKASIH SEORANG PECANDU NARKOBA


Pria yang menjadi pecandu narkoba rasanya tidak akan termasuk dalam tipe pria yang disukai kaum hawa. Apalagi masuk dalam kriteria menantu idaman. Tetapi bagaimana jika Anda baru mencurigai kekasih memakai narkoba di setelah hubungan berjalan sekian lama?

Ika (25), sudah dua tahun menjalin hubungan dengan Hendra (29). Pada awalnya tidak ada yang mencurigakan dari sikap Hendra, tapi lama-kelamaan Ika melihat tubuh Hendra makin kurus. Pria yang berprofesi sebagai manajer sebuah kafe itu juga tampak loyo, tak bersemangat. Ika mencurigai kekasihnya itu memakai narkoba, terlebih belakangan ini Hendra terlihat akrab dengan sahabatnya yang baru lepas dari pusat rehabilitasi narkoba.

Setiap individu berhak mengetahui kondisi kekasih apa adanya. Keraguan dan kecurigaan yang dialami Ika sangat rentan menimbulkan perpecahan. Itu sebabnya, daripada memvonis kekasih seorang pecandu, Ika perlu jujur dan terbuka mengungkapkan keraguannya.

A.Kasandra Putranto, seorang psikolog dari Kasandra Persona Prawacana, mengatakan, banyak tanda-tanda penyalah guna narkoba yang tidak semata-mata kurus dan kehilangan gairah saja, tergantung zat yang dikonsumsi.

Model kurus dan kehilangan semangat, jelas Kasandra, biasanya model downers, yakni pengguna heroin, atau putaw. Sedangkan model uppers, memiliki ciri energik, aktif, dan tak bisa diam. Jenis narkoba yang digunakannya adalah shabu-shabu atau ekstasi. Sedangkan model kurus tapi doyan makan dan suka melamun biasanya model halusinogen alias pengguna ganja atau hasish.

"Jika sudah curiga, Anda perlu menanyakannya. Tapi umumnya mereka akan menyangkal dan kalau pun mengaku mereka akan tetap berbohong atas perilaku adiksinya," papar Kasandra.

Bila kecurigaan Anda benar adanya, terimalah kenyataan apa adanya. "Sikap yang tepat adalah memberi kesempatan dan dorongan agar kekasih mau mengikuti rehabilitasi," ujar Kasandra. Bahkan bila perlu Anda juga bisa ikut mendampingi kekasih selama ia menjalani terapi dan rehabilitasi.

Tetapi, Kasandra menyarankan agar Anda menentukan sendiri berapa lama Anda akan memberinya kesempatan. "Bila memang tidak ada perubahan sebaiknya Anda juga berpikir tentang diri sendiri," katanya. Bila kekasih lebih suka berada dalam jeratan narkoba, berarti ia sudah sedemikian egoisnya, lebih memikirkan diri sendiri daripada Anda dan masa depannya.


__________________